Berdiri seorang ibu dengan seorang anak laki-lakinya ditepi sungai yang berarus deras. Mereka hendak menyeberangi sungai itu dengan sebuah jembatan bambu yang terlihat rapuh yang telah ada persis didepannya. Sesaat keduanya terlihat ragu, karena jembatan itu terlihat tidak menjamin keselamatan mereka. Beberapa saat kemudian sang anak meraih lengan ibunya, lalu menggandengnya. Tetapi ibunya menolak sambil berbalik menggenggam jemari anaknya erat-erat.
"Biar Ibu yang menggandengmu."
"Ah, kan sama saja, Bu."
"Tidak sama ! Kalau kau menggandeng ibu, mungkin kau akan melepaskan tanganmu saat arus menyeret ibu dan mengancam keselamatanmu. Tapi jika ibu yang menggandengmu, walau harus mati menatap karangpun ibu berjanji tidak akan pernah melepaskanmu."
terdengar sepele memang, tapi mendengar perkataan ibunya, anak itu hanya terbengong. Kisah ini mengingatkanku pada sebuah hal sepele yang terjadi padaku beberapa saat lalu.
Sore itu, tiba-tiba Om ku yang tinggal di ibu kota menelepon. Ia memberikan informasi dan tawaran tentang beasiswa kuliah di luar negeri. Tapi jurusan kuliah yang ditawarkannya kurang kuminati. Kemudian dia berkata akan mencarikan informasi beasiswa yang lebih sesuai denganku dan berjanji akan mengurus semuanya -jika aku mau. Awalnya aku sangat senang karena ini adalah cita-citaku yang hampir terkubur. Tapi semuanya berubah ketika aku melihat ibu menitihkan air mata saat gagang telpon kuletakkan.
Ibu menangis. Ia terus berkata bahwa ia tidak ingin aku pergi jauh. Apalagi sampai ke negeri seberang. Aku heran melihat ekspresi ibu. Om ku hanya memberikan tawaran, dan aku juga belum mengiyakan. Lagipula belum tentu juga aku bisa lulus seleksi penerimaan beasiswa. Intinya, aku menganggap bahwa ibu berlebihan -menangisi sesuatu yang belum tentu terjadi. Apalagi ketika kukatakan bahwa kuliah di luar negeri adalah cita-cita ku sejak kecil dan aku ingin mewujudkannya, tangisnya semakin menjadi-jadi.
"lek adoh, engko lek ibuk kangen pengen ketemu piye ? (kalau jauh, nanti kalau ibu kangen ingin bertemu bagaimana ?) "
sejujurnya saat itu hatiku ingin tertawa.
"Ibu sangat berlebihan. Sayang sekali air matanya ditumpahkan hanya untuk hal sepele seperti ini." pikirku.
Tetapi kemudian aku tersadar. Ia sudah pernah merasa menjadi sepertiku namun aku belum pernah merasa menjadi ibu. Tidak sepantasnya aku berpikir bahwa dia berlebihan. Aku menyesal telah mengatakannya. Ia lebih tau apa yang dia katakan atau yang dipikirkan.
Semua itu terjadi karena Ibu tidak pernah menganggap remeh tentang suatu hal yang menyangkut anaknya. Hatinya terlalu lembut untuk merasa dan terlalu sempurna untuk mencintaimu -ingatkah bahwa ia sudah mencintai bahkan sejak sebelum kehadiranmu ke dunia. Untuk itu semua, kumohon hormati ibu, hargai ibumu, sayangi ibumu, dan berupayalah untuk selalu memberikan yang terbaik untuknya. Kau harus tau bahwa apapun yang dilakukannya karena ia menyayangimu, dan kau tak kan pernah mampu mengukur kedalamannya.
Sampai kapanpun kita tidak akan sanggup untuk membalas kebaikannya, kita hanya bisa berbuat baik padanya.
Aku sayang Ibu
24-04-2011
_dyas aja_
No comments:
Post a Comment