Monday, May 2, 2011

Dy si mooDy - 7

[lanjutan "Dy si mooDy - 6]

Aku tercengang dengan apa yang baru saja kudengar, seorang murid kelas X SMA harus didepak dari sekolahnya karena terlibat narkoba ? Kurasa pengakuannya tadi telah menciptakan jurang diantara kami. Aku tak tau apa yang kupikirkan saat itu. Aku diam. Sementara pria bertubuh besar itu mencoba memecah ketegangan dengan memanggil penumpang yang berdiri di pinggiran jalan.

"aku dulu juga sekolah di *[menyebutkan nama salah satu sekolah kejuruan cukup terkemuka]. Ehm, maksudku .. hampir sekolah disana." ia kembali memulai pembicaraan. Aku bingung dengan maksud perkataannya. Sebelum sempat kutanyakan maksudku, ia sudah menjawabnya.

"setelah dikeluarkan, tahun ajaran berikutnya orangtua ku mendaftarkanku disana dan percaya aku tak akan melakukan kesalahan lagi.Namun aku mengecewakannya." lelaki berambut gondrong itu memberi sedikit jeda.

"Uang pendaftaran & biaya masuk sekolah kuhabiskan bersama teman-teman. Makan, nongkrong. Hingga orangtua ku pun marah besar."

ia kembali diam.

"aku dulu benar-benar payah. Hanya bisa fighting & menghabiskan uang orang tua ku. Bahkan mungkin aku juga telah menyakiti mereka."

masih saja aku termangu, tak mampu berkomentar.

"akhirnya mereka menyekolahkanku ke sebuah sekolah swasta. Disana bebas. Masuk atau enggak, terserah. Banyak uang, banyak nilai bagus." tuturnya sambil tertawa kecil. Aku hanya sanggup tersenyum. Sungguh, aku seolah kehabisan kata-kata saat itu.

"aku ingat, dulu aku pernah mendapat nilai 4 saat ulangan. Kebetulan saat itu guruku sedang merenovasi rumah. Dan kau tahu ? Satu kaleng cat genteng, dapat kutukar dengan nilai 8 di raportku." ia kembali tertawa, mengingat masalalunya. Melihatnya tertawa, aku pun ikut tertawa. Padahal dalam hati aku sedang prihatin. Ya Tuhan, beginikah pendidikan di indonesia ? Siapa yang bobrok ? Guru atau muridnya ? Tak selayaknya ilmu disepadankan dengan sekaleng cat genteng !

Aku menatap keluar : Lampu jalanan, hiruk pikuk kendaraan, sambil menahan gejolak batinku. Beberapa saat kemudian, ia berkata :

"aku kapok. Seandainya aku dulu rajin dan patuh pada orangtua ku, pasti aku nggak akan jadi supir angkot seperti ini." dapat kurasakan penyesalan itu mengalir tulus dari hatinya. Aku pun tersentuh, tapi tetap, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku.

Yah, kuakui beberapa menit yang lalu aku memang mencemaskan keadaanku. Bagaimana tidak, aku duduk bersebelahan dengan -semoga mantan- seorang pecandu narkoba, -semoga mantan- orang brutal yang lebih sering tinggal dijalanan, -semoga mantan- orang yang berani & nekat melakukan apapun meski harus menyakiti hati orang tua nya. Dia bisa melakukan apa saja padaku. Jika dia mau. Tapi diakhir, pernyataan nya itu telah membuatku membuka mata.

Tak penting siapa kau kemarin, tak penting siapa kau hari ini. Yang terpenting adalah apa yang sudah kau lakukan hari ini. Penyesalan adalah awalah menuju perbaikan. Aku tak peduli siapa atau bagaimana kau dimasa lalu. Kurasa yang terpenting adalah bagaimana kau mau memulai hari ini dengan semangat hidup baru, yang jauh lebih baik.

"makasi mas" kataku kemudian sambil menyodorkan uang ketika kusadari aku telah sampai tujuanku.

Ia berbalas senyum, manis.



11-12-2010
_dyas aja_

No comments:

Post a Comment